HOME

Jumat, 17 April 2020

PERJALANANKU SAMPAI NEGERI MESIR #7




Masuk Semester 2 di LSIA

           Di LSIA, waktu belajarnya hanya satu tahun yaitu 2 semester, setara dengan Diplom 1.
     Tidak banyak yang berubah di semester dua, hanya saja muqoror berganti dengan level berikutnya. Kamarku di asrama juga pindah, kali ini saya sekamar dengan teman-teman dari Lombok, Bekasi dan Palembang. 

     Di kamarku saat itu lumayan seram, karena temen sekamarku sering kesurupan sehingga bikin heboh se asrama bahkan musyrif ikut kualahan menanganinya. Memang sudah sejak semester satu dia begitu, dan berlanjut di semester dua. Kalau sudah mulai gejalanya, pasti dia meraung-raung.
     Beberapa kali saya membacakan al-Qur’an padanya, bahkan sempat di pukul. Rasanya sakit sekali kala itu. Sungguh aneh, salah satu sebab dia begitu karena di podoknya dulu suka mengamalkan dzikir dari gurunya yang tidak sesaui tuntunan dan dia masih menyimpan benda-benda keramat di kamarnya. Setelah temen-temen mengetahui hal ini, mereka segera membuang barang-barang itu.

     Ada pelajaran di kelas yang kurang saya sukai , yaitu Khot Arabi. Alhasil sampai sekarang tulisan saya jelek. Pelajaran lainnya semakin seru, Ust. Syarif saat itu mengajar nahwu dari kitab Al-Ajurumiyah selalu membawakan angina segar berupa faidah-faidah baru, Alfiyah Ibnu Malik yang beliu hafal seakan-akan membuat kami sekelas takjub. Beliau sangat serius kalau ngajar, bahkan tak segan menggebrak meja kalau ada yang tidur atau tidak memperhatikan materi yang beliau sampaikan, namun sesekali di bumbui pembahasan pernikahan dan poligami, yang membuat isi kelas menjadi rame dengan gelak tawa.

     Berbeda dengan Ust. Rizky Narendra, beliau ngajar kami Qiroah dan Ta’bir. Sangat anti dengan pembahasan wanita dan pernikahan di kelas, selalu beliau mengalihkan ke pembahsan yang berkaitan dengan materi. Sesekali beliau bercerita tentang siroh Nabi dan Ulama, karena menurut pengakuan beliau bahwa beliau sudah mengkhatamkan Kitab Siyar A’lami Nubala karya Imam Adz-Dzahabi yang berjilid-jilid itu sebanyak 3 kali selama menjadi mahasiswa di Madinah. Pantes saja beliau sangat hafal dengan kisah-kisah biografi para ulama yang di tuliskan Imam Adz-Dzahabi.
     Beliau termasuk mahasiswa LSIA terbaik di angkatannya, beliau dari sekolah umum. Tapi semangatnya mengalahkan anak-anak yang dari pesantren sehingga Allah bukakan pintu ilmu untuk beliau, setelah lulus LSIA beliau melanjutkan ke Ar-Royyah Sukabumi, dan termasuk angkatan awal-awal. Disana beliau bisa menghfal Al-Qur’an 30 juz dengan mutqin, sehingga setelah lulus beliau dapat panggilan untuk melanjutkan kuliah ke Univ. Islam Madinah.
     Beliau lah salah satu inspirasi saya ketika itu, semoga saya bisa meniru beliau dalam perjuangannya menuntut ilmu, hingga akhirnya nanti bisa kuliah di Kota Madinah, tempat idaman seluruh pelajar muslim.

         Ust. Azmy salah satu dosen yang sangat kalem, penyabar dan murah senyum. Pembawaannya yang kalem menjadi ciri khas tersendiri. Bukan hanya itu, beliau selalu berpakaian rapi sehingga wibawanya selalu terjaga.

     Pelajaran Reading Couse mengajarkan banyak hal bagi saya, terutama tulis menulis. Dari situlah bibit-bibit bakat menulis saya mulia terasah. Menghabiskan waktu membaca, menghafal dan murojaah. Sungguh nikmat yang luar biasa.

     Jujur saja, saat semester dua saya membawa tablet android ke asrama, tidak terlarang dari pihak asrama. Tujuan utamanya sih, mencari info pendaftaran kampus-kampus setelah lulus nanti. Memang susah membagi waktu dengan adanya internet, itulah yang saya alami. Ada positif dan negatifnya, tergantung bagaimana kita dalam memanfaatkannya.

     Di awal bulan Januari mendapat pengumuman bahwa Universitas Islam Madinah membuka tes Muqobalah di Darunnajah Jakarta, alhamdullilah berkas yang tahun lalu sudah ada dan telah di perbarui dengan nomor paspor yang sudah saya buat saaat liburan kemaren. Dengan bekal roqm thalab saya berangkat kesana sendirian, karena temen-temen saat itu belum siap berkas apa-apa, jadi tidak ada yang ikut daftar. Alhamdulillah saya sudah siapkan berkas sejak setahun lalu, jadi kapanpun ada pendaftaran muqobalah, saya selalu siap.
     Berliku mencari alamat Pondok Pesantren Darunnajah, naik angkot beberapa kali akhirnya ketemu juga. Saya nginep dua hari disana, pesertanya membludak banyak sekali, sehingga muqobalah di ganti dengan tes tulis di aula yang sangat besar. Alhamdulillah bisa jawab dengan lancar.

      Ikhtiyar sudah kita lakukan tinggal menunggu hasil. Setelah itu saya balik lagi ke asrama untuk melanjutkan hari-hari biasanya.

     Setiap Sabtu malam ada latihan Panca Bela, semacam pencak silat begitulah. Jujur saja saya kurang minat dalam mengikutinya. Tapi karen wajib bagi setiap mahasiswa untuk ikut, ya terpaksa dengan setengah hati mengikutinya. Sesekali bolos dengan temen-temen, sehingga Ust. Ujang Habibi salah satu ketua asrama memarahi kami semua. Lika-liku belajar demikian, ada saatnya dimarahi karena melanggar.

     Kajian setiap hari Selasa selepas sholat subuh, dengan pemateri Ust. Dr. Ahmad Zen An-Najah Hafidzahullah Ta’ala (Lulusan Univ. Islam Madinah dan Al-Azhar Kairo). Wajib bagi mahasiswa asram untuk ikut, meskipun dengan rasa kantuk. Kajian itu sudah berlangsung dari semester 1, berlanjut di semester dua. Kitab yang di kaji adalah Lum’atul I’tiqod karya Ibnu Qudamah tentang aqidah , dan Kitab Muqoddimah fi Tafsir karya Ibnu Taimiyyah. Alhamdulillah selesai dua kitab itu, meskipun di bahas seminggu sekali. Dan jujur saja, saat itu saya belum terlalu memahami alur kajiannya. Atau karena memang saya kurang pinter saja kali ya, tapi ada sedikit faidah yang saya ambil berupa pengenalan terhadap kitab-kitab ulama dan mengkajinya.

     Setiap bulan saya selalu saja punya hutang, si Jon yang selalu menghutangi saya saat itu. Memang kita sangat akrab saat itu, beiau dari Kota Solok Sumatra Barat. Uang dari umik selalu tidak cukup dalam sebulan. Umik memberi 500 ribu setiap bulannya, buat iuran makan di asrama 275 rb, sisa 225 rb untuk sebulan, belum lagi beli paket internet 50 rb . sisanya buat jajan di kantin dan beli buku-buku. Pantas saja selalu kurang, sehingga saya berhutang kepada si Jon, tidak banyak sih 100-150 rb saja, dan selalu saya bayar setiap ada kiriman dari umik, meskipun setelah itu hutang lagi. Kalau bahasa kerennya gali lubang tutup lubang. Begitulah realita kehidupan yang saya jalani, harus hemat di perantauan, dengan bekal secukupnya.

     Membeli buku, itulah hobi saya. Sehingga setiap bulan selalu saya sisikan uang dari umik untuk membeli buku, terutama buku favorit saya adalah tulisan Ust. Yazid Abdul Qodir Jawas Hafidzahullah Ta’ala, setiap beli buku berusaha say abaca hingga tuntas dan banyak faidah yang saya dapat. Suatu saat ada Book Fair di Senayan Jakarta, maka temen-teman sepakat untuk pergi kesana rombongan, meskipun tidak beli, minimal mempunyai pengalaman sekaligus jalan-jalan melepas penat di dalam asrama terus menerus. Saat itu saya borong buku, kebetulan memang saya ada sedikit tabungan khusus untuk Book Fair, kitab-kitab berbahasa arab yang saya beli, ya meskipun belum lancer bacanya, tapi suatu saat nanti pasti bisa in syaa Allah.

     Main sepak bola, sebenernya itu hobi dari dulu bahkan saya hafal pemain kelas dunia, bahkan yang di dalam negripun hafal. Tapi saat kuliah rasanya malas sekali untuk main sepak bola, sehingga jarang-jarang ikut main hanya sesekali saja, padahal temen-temen yang lain rutin setiap sore jika tidak ada jam kuliah selalu sepak bola.

     Bulan demi bulan sudah saya lalui, banyak kosa kata yang saya hafal dan ketahui dari belajar kitab Silsilah Lughoh Arobiyah 1-4. Dalam setiap babnya selalu ada tambahan kosa kata baru, sehingga memeberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya, bahwa bahasa arab itu sangatlah luas. Apalagi di semester dua ada pelajaran Balaghoh, itulah pertama kali saya belajar balaghoh. Betapa indah bahasa Al-Qur’an tersebut dipenuhi dengan makna-makna yang luar biasa.

     Sudah memasuki bulan Rajab, itu tandanya sebentar lagi lulus. Kemanakah selanjutnya saya menuntut ilmu? Itulah yang menjadi fikiran saat itu. LIPIA Jakarta dan Ar-Royyah Sukabumi menjadi tujuan utama, pembukaan dan tesnya juga sudah di buka akhir bulan ini.
     Kami berangkat bareng-bareng dengan surat rekomendasi dari ust-ust di LSIA, untuk daftar ke Lipia. Saat itu kami dan temen-temen nginap di Majid Al-Ikhlas Jati Padang, masjid itu tidaklah asing bagi mahasiswa Lipia. Karena selalu menjadi tempat penginapan saat-saat pendaftaran dan tes Lipia.
     Dengan penuh lika-likunya, kami ikut tes yang ke dua kalinya di Lipia, setelah sebelumnya gagal. Dengan penuh keyakinan akan lulus, maka saya berusaha mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Setelah seselai tes, maka kami pulang ke asrama bersama temen-temen.
     Dag-dig dug selama seminggu mananti hasil, dan pada akhirnya kenyataan pahit yang harus saya terima. Saya gagal untuk masuk lipia untuk yang kedua kalinya. Sedih sekali saat itu, Alhamdulillah temen akrabku si Jon diterima dan beberapa temen lain.

     Tapi semangat tak padam, temen-temen yang tidak diterima memutuskan berangkat ke Sukabumi untuk ikut tes masuk ke Ar-Royyah. Kami berangkat dari terminal Bekasi menuju Sukabumi, sekitar 6 jam perjalanan saat itu, karena macet.
     Malam-malam sampai juga di Ar-Royyah Sukabumi, dingin sekali karena memang di daerah pegunungan. Nampak hening suasananya. Dua hari kami disana untuk mengikuti tes, saya ambil program S1 sedangkan teman-teman ambil program D2. Dengan segala kemampuan yang ada, alhamdullilah kami mengiktu tes dengan lancar.
     Perjalanan dari Sukabumi ke Bekasi penuh dengan liku, bus penuh sekali. Sehingga kami harus berdiri selama 6 jam perjalanan, sangat capek sekali rasanya. Itulah salah satu perjuangan kami untuk mencari tempat berlabuh dalam menuntut ilmu, meskipun perjuangan itu tidak seberapa susahnya, tapi membekas dalam hati kami bahwa menuntut ilmu harus penuh perjuangan. Dan betapa takjubnya saya dengan para ulama salaf dahulu yang rela berjalan hingga berbulan-bulan demi menuntut ilmu sehingga perjuangan yang kami lakukan ini sangatlah kerdil dibanding perjuangan mereka. Masya Allah.

     Setelah berkutat dengan tes dan tes, saatnya kami focus untuk ujian akhir di LSIA. Tak terasa sudah memasuki bulan Sya’ban, itu tandanya beberapa minggu lagi kami akan lulus.
     Belajar dan menghafal di malam-malam ujian, untuk meraih hasil yang terbaik. Tibalah waktunya ujian demia ujian, hari demi hari terlewati, mata kuliah demi mata kuliah juga terlewati. Alhamdulillah, usai juga ujian semester dua, sudah saatnya pulang kampung.
     Sebelum pulang kampung, saya bersama teman teman sempat mengikuti tes di Hufadzussunnah di Jakarta (Ijazahnya Ikut Lipia Jarak Jauh dari Riyadh) dan ikut tes di STID Muhammad Nastir (langsung semester 3).

     Tiba-tiba hp bergetar , setelah ku lihat ternyata pesan singkat dari teman lama asal Lampung yang sama-sama pernah ikut pelatihan tes Lipia di Paciran, Lamongan satu tahun lalu, beliau memberitahukan tentang seleksi di Univeritas Al-Azhar Kairo. Beberapa waktu setelah kabar tersebut, ku coba buka-buka internet untuk mendaftar, awalnya itu hanya iseng, karena rasa ingin tahu yang sangat tentang universitas islam tertua di dunia ini. Setelah selesai semuanya, aku hanya menunggu waktu seleksi , kebetulan aku memilih tempat seleksi di Kota Apel Malang, yang kebetulan dekat dengan kota kelahiranku.
     Alhamdulillah nilai akhir semester dua sudah keluar, dan saya meraih nilai Mumtaz dan termasuk salah satu yang terbaik di kelas. Alhamdulillah atas karunia Allah sehingga meraih hasil yang terbaik.
    
Lalu penguman-penguman hasil tes bagaimana ? simak serial berikutnya.


0 komentar:

Posting Komentar