HOME

Minggu, 30 April 2017

KAJIAN NAWAQIDUL ISLAM - 3



Oleh : Abu Yusuf Akhmad Ja'far
Muqoddimah

الحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَ يَرْضَى ، وَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَآيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَ لَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
وَ إِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ تَعَالَى ، وَ خيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ، وَ شَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَاتِ بِدْعَةٍ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ
أمَّا بَعْدُ ،
Segala pujia bagi Allah atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, namun tidak banyak nikmat yang diberikan olehNya kita manfaatkan untuk kebaikan dan ketaatan. Patut bagi kita untuk selalu intropeksi diri setiap langkah yang kita lalui dalam kehidupan dunia ini.


PEMBATAL ISLAM - 3
TIDAK TEGAS DENGAN MENGKAFIRKAN, RAGU ATAU MEMBENARKAN KEYAKINAN ORANG-ORANG KAFIR

1.                  Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi, Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia telah kafir.

Perlu diketahui bahwa selain agama Islam itu berarti itu KAFIR. Wajib bagi kita meyakini kekafirannya. Jadikan hal ini sebagai Aqidah kita. Agama dibangun diatas dalil bukan perasaan, kalau ada orang bukan Islam maka sebutannya ORANG KAFIR. Seperti Yahudi, Nasrani (Kr*st*n), Majusi, Komunis, Sekularisme, B*dh*, H*nd*, K*nghuc* , Ateis atau keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.
Dalil hanya Agama Islam Agama yang benar, Allah Ta’ala berfirman:
إنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…” (Ali ‘Imran: 19)
Juga firman-Nya:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Pertanyaan : Kenapa kok kita disuruh mengkafirkan orang yang jelas kekafirannya ?
Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun siapa saja yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka (seperti contoh diatas), atau meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka mereka itu telah menentang Allah Ta’ala.
Padahal Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۚ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam"...” (QS. Al-Maidah : 17)
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwa Allah salah satu dari yang tiga, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Maidah: 73)
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al-Bayyinah: 6)
Nabi Muhammad salallahu ‘alaihissalam bersabda : “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tidaklah dari umat ini baik Yahudi atau Nashrani mendengar tentang aku, kemudian dia mati dan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya kecuali ia termasuk ahli neraka.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah.
Dari sini menimbulkan pertanyaan, apakah tidak boleh bermuamalah dengan orang kafir sama sekali ? lalu bagaimana dengan seorang muslim  yang tinggal di wilayah kaum kafir ?
Para ulama telah membahas masalah ini jauh-jauh hari tentang permasalahan ini, ada beberapa point penting yang harus kita ketahui tentang bermuamalah dengan orang kafir.
-          Perkara Aqidah
Haram hukumnya bermuamalah/negoisasi tentang masalah aqidah (keyakinan) dengan orang kafir. hal ini sebagaimana kisah yang masyhur tentang sebab turunnya surat Al-Kafirun.
Sebab turunnya ayat ini dikemukakan bahwa kaum kafir Quraisy berkata kepada Nabi Muhammad, ”sekiranya engkau tidak keberatan mengikuti kami menyembah berhala selama setahun, kami akan mengikuti agamamu selama setahun pula.” Maka turunlah Q.S. Al Kafirun tersebut.
Dalam riwayat lain suatu ketika kaum kafir Quraisy mempengaruhi Nabi dengan menawarkan kekayaan yang sangat melimpah. Tipu daya mereka ini disampaikan dengan kata-kata, ”Inilah yang kami sediakan bagimu wahai Muhammad, dengan syarat engkau tidak menjelek-jelekkan dan memaki tuhan kami. Selain itu sembahlah tuhan kami selama beberapa saat setelah itu kami akan menyembah Tuhanmu pula selama beberapa waktu.” Rasulullah menjawab, ”Aku akan menunggu wahyu dari Tuhanku.”
Surat ini turun berkaitan dengan perintah untuk menolak tawaran kaum kafir. Selain itu turun pula Q.S. Az Zumar ayat 64 sebagai perintah menolak ajakan orang-orang bodoh yang menyembah berhala.
Selain itu disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Al Aswad bin Mutalib dkk bertemu dengan Rasulullah dan berkata, ”Wahai Muhammad, mari kita bersama-sama menyembah apa yang kami sembah dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah dan kita bersekutu dalam segala hal dan engkaulah pemimpin kami.” Maka Allah menurunkan Q.S. Al Kafirun.[1]
            Sekarang sudah mulai Nampak bibit-bibit kaum munafik di negeri kita, ada sebagian orang (gus atau kyai) yang mencampuradukkan antara agama Islam dengan agama selainnya atas nama toleransi atau yang lebih dikenal dengan ajaran pluralisme. Ini adalah penyimpangan dari aqidah yang benar. Na’udzubilla min dzalik.
Contoh yang lain dari perkara yang dilarang dalam bab aqidah adalah : Ikut serta dalam hari raya mereka (seperti natal atau yang lainnya), mengucapkan selamat atas hari raya perayaannya, menyerupainya dalam hal-hal yang menjadi ciri khas bagi mereka (perayaan ulang tahun dan yang lainnya), mendukungnya sebagai pemimpin yang mana di wilayah itu mayoritas muslim dll. Semoga Allah melindungi anak keturunan kita dari hal yang demikian.

-          Perkara Muamalah Duniawi
 Hukumnya adalah boleh bermualah dengan orang kafir seperti melakukan jual beli, gadai-menggadai, mengambil pelajaran dari pengalamannya dalam urusan duniawi atau sewa-menyewa, membalas kebaikannya dll. Hal ini dilakukan selama tetap dalam batas-batas syariat Islam, tidak terlarut dalam cinta dunia yang akan mengakibatkan kita menggadaikan agama kita.
Perkara Muamalah ini sudah terjadi pada zaman Nabi salallahu ‘alaihisalam, Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺍﺷْﺘَﺮَﻯ ﻃَﻌَﺎﻣﺎً ﻣِﻦْ ﻳَﻬُﻮﺩِﻱٍّ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﺟَﻞٍ ﻭَﺭَﻫَﻨَﻪُ ﺩِﺭْﻋﺎً ﻣِﻦْ ﺣَﺪِﻳﺪٍ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai  gadai” (HR. Bukhari no. 2068).[2]

Syaikh Sholeh Fauzan lebih memerinci permasalahan diatas di dalam Syarh Nawaqidul Islam miliknya, bagaimana seharusnya sikap kita setelah berkeyakinan bahwa agama selain Islam itu kafir ;
    1.      Wajib bagi kita membeci, memusuhi mereka dan tidak berkasih sayang dengan mereka walaupun itu kerabat dekat.
Allah Ta’ala berfirman :

  
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (١) إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ (٢) لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٣)

“1.  Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;  padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (maka janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.2.  Jika mereka menangkapmu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu lalu melepaskan tangan dan lidahnya kepadamu untuk menyakiti dan mereka ingin agar kamu (kembali) kafir. 3. Kaum kerabatmu dan anak-anakmu tidak akan bermanfaat bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mumtahanah : 1-3)
Dan Allah Ta’ala juga berfirman :

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati (wahai Muhammad) kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung”(QS. Mujadalah : 22).
    2.      Tidak boleh mengantarkan jenazah ke tempat pengkuburannya, kecuali kalau tidak ada lagi yang menguburkan dari kalangan kaum kafir, tapi cukup dengan ditimbun tanah saja serta tidak bolehdikuburkan di pengkuburan kaum muslimin.
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ'ah  dari kalangan kaum kafir, tapi cukup dengan ditimbun tanah saja serta tidak bolehdikuburkan di pengkuburan kaum muslimin.
“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah : 84)

     3.      Tidak saling mewarisi antara orang muslim dan kafir
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
لَا يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَ لَا الكَافِرُ المُسْلِمَ
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, ataupun orang kafir mewarisi seorang muslim” (HR. Bukhari dan Muslim)
    4.      Tidak boleh bagi seorang muslim menikahi seorang gadis kafir kecuali ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) Dan tidak boleh bagi muslimah menikah dengan orang kafir (tanpa terkecuali).
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu…”(QS. Al-Baqarah : 221). 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;…” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
    5.      Wajib bagi seorang muslim untuk hijrah dari negeri kafir jikalau tidak bisa menjalankan agama Islam dengan baik.
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا (٩٨) فَأُولَئِكَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا (٩٩)
“ (97) Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab, "Kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Mereka (para malaikat) bertanya, "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? " Maka orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, (98) Kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah),(99). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An- Nisa’ : 97-99)
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
أَنَا بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الكَافِرِ
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal diantara orang-orang kafir” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
     6.      Jika ketemu mereka tidak boleh memulai mengucap salam
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
لَا تَبْدَءُوْا اليَهُوْدَ وَ لَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ...
“Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani…” (HR. Muslim)
     7.      Tidak boleh bermajlis dengan mereka dan mempersempit gerak-gerik mereka
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
فَإِذَا لَقِيْتُمْ أَحَدَهُمْ فِيْ طَرِيْقٍ فَاضْطَرُّوْهُ إِلَى أَضْيَقِهِ
“Jika kalian berjumpa salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya”(HR. Muslim) Maksud mempesempit disini yaitu tidak memuliakannya atau menghormatinya.[3]
     8.      Melarang Orang kafir memasuki tanah haram Mekkah
Allah Ta’ala berfirman :
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا إِنَّمَا المُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوْا المَسْجِدَ الحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
“Wahai orang-orang yang beriman ! sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati masjidil haram setelah tahun ini (9 hijriyah) ” (QS. At-Taubah : 28)
     9.      Wajib bagi Ulil Amri untuk mengeluarkan kaum kafir dari Jazirah Arab
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda tatkala beliau sedang sakit menjelang kematiannya :
أَخْرِجُوْا المُشْركِينَ مِنْ جَزِيْرَةِ العَرَبِ
“keluarkanlah kaum musyrikin dari Jazirah Arab” (HR. Bukhari dan Muslim)
    10.  Tidak boleh memuji orang kafir
  11. Haram hukumnya menyerupai kekhususan mereka, entah itu makanannya, minumannya atau pakaiannya
   12.  Penyerupaan terhadap mereka dalam hal yang tampak dhohir (kasat mata) menunjukkan kecintaan dan kekaguman kepada mereka
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“ Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan kaum tersebut " (HR. Abu Dawud)[4]




  
PEMBATAL ISLAM - 4
BERKEYAKINAN BAHWA ADA HUKUM LEBIH BAIK SELAIN PETUNJUK NABI MUHAMMAD SALALLAHU ‘ALAIHISSALAM

   Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.
Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba, meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maa-idah: 50)
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى
“Nabi tidaklah berbica dengan hawa nafsunya, melainkan hanya dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An-Najm : 3-4)
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَىكَ اللهُ
“Sungguh, kami telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS. An-Nisa’ : 105)
Allah Ta’ala berfirman :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ  
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah… ”(QS. Al-Maidah : 49)
Allah Ta’ala berfirman :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتَّي يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسَهُمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka persilahkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya ” (QS.An-Nisa’ : 65)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُوْلَهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ، وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَالاً مُبِيْنًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, aka nada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan RasulNya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al-Azhab : 36)


Ada sebuah Faidah dari Syaikh Sholeh Fauzan di dalam kitabnya Syarh Nawaqidul Islam :
Hukum bagi yang berhukum dengan selain Hukum Allah :
   1.      Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah karena lalai, sum’ah (ingin di dengan manusia), atau karena jabatan. Sedangkan dia meyakini bahwa hukum Allah masih lebih baik dari hukum selainnya maka orang seperti ini dihukumi sebagai pelaku dosa besar (kufrun duna kufrin : kekafiran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam).
    2.      Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan dia meyakini bahwa selain hukum Allah itu Afdhol (lebih baik) maka dia telah KAFIR.
    3.      Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah karena salah atau hasil ijtihad, dan dia termasuk orang yang mumpuni untuk berijtihad[5], maka baginya 1 pahala. Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu beliau mendengar Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Apabila seorang hakim memutuskan sebuah perkara dengan ijtihadnya kemudian dia benar, maka baginya 2 pahala, dan apabila salah maka dia mendapat 1 pahala” (HR. Bukhari dan Muslim)[6]








[1] Lihat Tafsir Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ayy Al-Qur’an Juz 24/hal 702-703 oleh Ibnu Jarir Ath-Thabary. (dengan sedikit penambahan dan pengurangan)
[2] Perkara ini bisa dilihat secara terperinci di dalam kitab Ahkam At-Ta’amul ma’a ghoiri Al-Muslimin oleh Syaikh Kholid bin Muhammad Al-Maajid.


[3] Dikatakan oleh Imam Munawi dalam kitab Fathul Qodir, sumber www.muslim.or.id
[4] Lihat Syarh Nawaqidul Islam hal 84-92 (dengan pengurangan serta penambahan bahasa untuk memperjelas makna) oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan
[5] Menjadi mujtahid mempunyai beberapa kreteria atau syarat. Syarat menjadi mujtahid sebagai berikut :
1.      Islam
2.      Paham Al-Qur’an
3.      Paham Sunnah (hadist), bisa membedakan atara hadist shahih dan dhoif
4.      Paham Bahasa Arab
5.      Paham Ushul Fiqh
6.      Paham tentang permasalahan Ijma’
7.      Paham tentang hukum Nasikh dan Mansukh
8.      Orang tersebut harus mempunyai kecerdasan
Lihat di kitab Al-Kifayah fii Syarhi Al-Bidayah fii Ushul Al-Fiqh hal 445-446 oleh Syaikh Khalid Mahmud Al-Juhany
[6] Lihat Syarh Nawaqidul Islam hal 103 oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan

Jumat, 28 April 2017

KAJIAN NAWAQIDUL ISLAM - 2




Oleh :  Abu Yusuf Akhmad Ja'far
Muqoddimah

الحَمْدُ للهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَ يَرْضَى ، وَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : يَآيُّهَا الذِّيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَ لَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَ أَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
وَ إِنَّ أَصْدَقَ الحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ تَعَالَى ، وَ خيْرَ الهَدْيِ هَدْيُ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ، وَ شَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَاتِ بِدْعَةٍ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٍ
أمَّا بَعْدُ ،
 Segala pujia bagi Allah atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya. Betapa banyak nikmat yang Allah berikan kepada kita, namun tidak banyak nikmat yang diberikan olehNya kita manfaatkan untuk kebaikan dan ketaatan. Patut bagi kita untuk selalu intropeksi diri setiap langkah yang kita lalui dalam kehidupan dunia ini.

PEMBATAL ISLAM - 2
TAWASUL

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka. Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama)

Allah Ta’ala berfirman:
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah, maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 56-57)

*PEMBAHASAN TAWASUL*
Pengertian Tawasul secara bahasa adalah Sesuatu yang menyampaikan ke tujuan disertai dengan usaha yang maksimal.
Sedangkan pengertian menurut Syari’at adalah Sesuatu perantara untuk menggapai ke Ridho Allah dan Surga-Nya dengan melakukan amalan yang telah ditetapkan oleh syari’at dan meninggalkan apa yang dilarang syari’at.
Secara garis besar bahwasannya Tawassul dibagi menjadi 2 bagian , diantranya ;
1.      Tawassul yang disyari’atkan
2.      Tawassul yang dilarang
Adapun Tawasul yang disyari’atkan ada 3 macam,
     a.       Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah Ta’ala
Dalilnya ada di Al-Qur’an , Allah Ta’ala berfirman :
وَ للهِ الْأَسْمَاءُ الحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا
“Dan Allah memiliki Nama-nama yang paling baik, maka berdo’alah dengannya” (QS. Al-A’raf : 180)
Contoh tawasul dengan Nama dan Sifat Allah : Ya Allah, Aku memohon dengan Nama-Mu Ar-Rahman dan Ar-Rahim , Rahmatilah Aku !  atau Ya Allah, Aku memohon dengan Nama-Mu Ar-Razzaq , berilah aku rezeki !. dll.

     b.      Tawassul dengan Amal Sholeh
Hal ini juga telah Allah Ta’ala firmankan dalam Al-Qur’an :
الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Yaitu orang-orang yang berdo’a , Ya Rabb kami sesungguhkan kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari adzab Neraka” (QS. Al-Imran : 16)
Contoh Tawassul dengan Amal Sholeh : Ya Allah, dengan Keimananku kepada Engkau dan Cintaku kepada-Mu , Ampunilah aku ! atau Ya Allah, Aku telah mengikuti jalan Rasul-Mu , hilangkanlah kesusahanku ! dll.

     c.       Tawasul dengan Do’a Orang Sholeh yang masih hidup dan dalam keadaan mampu
Dalilnya sangat banyak dalam hadist-hadist Nabi salallahu ‘alaihissalam , diantaranya hadist dari Anas bin Malik , Ukaasyah , Ibnu Abbas, Umar bin Katthab.[1]

Adapun Tawassul yang terlarang 3 macam, diantaranya :
     1.      Tawassul dengan orang mati, jin, malaikat dll
Apabila orang yang melakukan demikian  meyakini bahwa orang mati bisa memberi manfaat dan menolak mudharot, maka orang ini telah terjatuh dalam perbuatan syirik besar, syirik yang bisa mengeluarkan pelakunya dari Agama Islam apabila tidak bertaubat. Dalam hal ini seringkali terjadi salah faham, apabila ada orang yang memperingatkan orang lain dari perbuatan syirik dan bid’ah maka orang tersebut dituduh extrim, suka mengkafirkan dll. Sungguh ini adalah pemahaman yang salah, kami tidak pernah mengkafirkan orang per orang, akan tetapi kami mengingkari perbuatannya yang mengarah pada kekafiran, adapun orangnya kami tidak langsung menghukuminya, karena bisa saja ada orang yang tidak tahu, belum sampai kepadanya dalil ataupun hanya ikut-ikutan.

     2.      Tawassul dengan mendatangi kubur dan meminta do’a disana dll
Perkara ini juga banyak terjadi di masyarakat kita, mereka berkeyakinan bahwa orang yang mati bisa menyampaikan hajatnya kepada Allah Ta’ala, sungguh ini adalah pemahaman yang sangat jauh dari paru ulama’ salaf terdahulu. Hal ini perkara baru dalam agama, menyelisihi apa yang telah dicontohkan Nabi Muhammad kepada umatnya. Adapun Islam tidak melarang untuk ziarah kubur, bahkan ziarah kubur adalah disyariatkan, akan tetapi harus sesuai tata cara yang benar sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad salallahu ‘alaihissalam.

     3.      Tawassul dengan kedudukan Nabi atau yang lainnya
Perkara ini dilakukan berdasarkan hadist palsu atau hadist yang tidak ada asal usulnya, sebagaimana yang dibawakan oleh kaum kuburiyyun dan pembela tawasul syirik, semua hujjah-hujjah mereka terbantahkan oleh Ulama’ Ahlus Sunnah dengan dalil-dalil yang shohih menurut pemahaman para salafus sholih.[2]



Syubhat kaum Kuburiyyun dan kaum pembela Tawassul Syirik dan Bid’ah tidak lepas dari dua perkara, diantaranya :
     a.       Berdalil dengan hadist lemah, palsu, ataupun hadist tidak ada asal usulnya.
Contoh :
Hadits Pertama
توسلوا بِجَاهِيْ فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ
“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.” 
إِذَا سَأَلْتُمْ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِجَاهِيْ فَإِنَّ جَاهِيْ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ 
 Atau: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”

Al’ Allamah Al Muhaddits Al Albani berkata, “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.”[3] 

Hadits Kedua
إِذَا أَعْيَتْكُمْ الأُمُوْرَ فَعَلَيْكُمْ بِأَهْلِ القُبُوْرِ أو فَاسْتَغِيْثُوا ِبأَهْلِ القُبُوْرِ
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah dengan (perantaraan) ahli kubur.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan (atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) berdasar kesepakatan ahli ma’rifah (hadits).[4]

Ketika Imam Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata, “Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits:
“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”
Dan hadits,
لَوْ أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ لَنَفَعَهُ
 “Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” [5]

Hadits Ketiga
Dari Umar ibn Al Khattab secara marfu’:
Ketika Adam melakukan kesalahan, dia berkata: “Wahai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad agar Engkau mengampuniku. Maka Allah berfirman, “Wahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?” Adam berkata, “Wahai Tuhanku, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh ke dalam diriku, aku mengangkat kepalaku, maka aku melihat tiang-tiang ‘arsy tertuliskan “Laa ilaaha illallah Muhammadun rasulullah”, maka aku tahu bahwa Engkau tidak menghubungkan sesuatu kepada nama-Mu, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”, kemudian Allah berfirman, “Aku telah mengampunimu, dan sekiranya bukan karena Muhammad tidaklah aku menciptakanmu.” 
Al Allamah Al Albani berkata, “Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak salah menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya.” (Lihat Silsilah Ahadits Addha’ifah sebagaimana dinukil oleh Syaikh Kholid Mahmud Al-Juhany dalam kitab I’lamu Al-Anaam ).

    b.      Berdalil dengan dalil shohih akan tetapi difahami dengan pemahaman yang salah, tidak sesuai metode para salafus Shalih.

*PEMBAHASAN DO’A*
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
الُدعَاءُ مُخُّ العٍبَادَةِ
“Do’a adalah inti Ibadah” (HR. Tirmidzi No.3371 ) Hadist dengan lafadz ini dhoif. Adapun redaksi yang shahih adalah
الدُعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Do’a adalah Ibadah ” (HR. Tirmidzi No. 3372 dan yang lainnya)
Doa terbagi menjadi 2 :
     a.      Do’a Mas’alah
Meminta sesuatu yang bermanfaat atau menolak mudharat bagi mudda’i (orang yang berdo’a), contoh :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَ ارْحَمْنِيْ
“Ya Allah Ampunilah aku dan rahmatillah aku”
Pertanyaan : Bagaiamana kalau meminta kepada selain Allah dalam do’a mas’alah ?
Syaikh Kholid Mahmud Al-Juhany menjawab : Kalau yang dimintai do’a (pertolongan) itu masih hidup dan mampu untuk memenuhinya maka ini bukan kesyirikan. Contoh : Wahai fulan, ambilkan aku minum ! atau Wahai fulan, tolong bantu aku mengangkat lemari ! dll. Ini hukumnya boleh, bukan kesyirikan.
Adapun yang dimintai pertolongan (do’a) sudah meninggal atau seseorang yang tidak mampu melakukannya, maka ini adalah kesyirikan yang menyebabkan keluar dari agama Islam. Contoh : Wahai Wali Fulan (sudah meninggal), tolong aku dalam mengerjakan ujian nasional ! atau Wahai Si mbah, tolong lindungi aku selama perjalanan pulang dari pegunungan ! sedangkan si Mbahnya lagi di rumah, otomatis si mbah tidak bisa melindunginya. Maka seperti contoh di atas ini, perbuatan syirik besar.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan permasalahan ini dalam syarhnya, Barangsiapa yang memalingkan do’a kepada selain Allah padahal yang dimintai do’a itu tidak mampu untuk mengabulkannya baik itu orang hidup atau mati maka ini perbuatan syirik bisa berujung kepada kekafiran. Contoh : Berdo’a minta anak, dll. Karena yang ngasih anak adalah Allah, maka tiak boleh dipalingkan kepada selain Allah.
Apabila berdoa kepada sesorang yang mampu memberikan hal itu, misal ada yang mengatakan : Ya fulan, ambilkan aku makanan itu, atau Ya fulan ambilkan aku minuman itu. Maka hal yang demikian adalah tidak mengapa.[6]

     b.      Do’a  Ibadah
Termasuk semua jenis ibadah adalah do’a dan bukan termasuk permintaan, semua jenis ibadah adalah do'a contoh : Sholat, Zakat, Puasa serta semua amalan yang dapat mendekatkan diri keapda Allah baik itu secara dhohir (nampak) atau batin, dll.
Nabi salallahu ‘alaihissalam bersabda :
الدُعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ
“Do’a adalah Ibadah ” (HR. Tirmidzi No. 3372 dan yang lainnya)
Perlu diperhatikan, bahwa semua do’a ibadah ini harus dilakukan karena Allah Ta’ala dan sesuai petunjuk Nabi salallahu ‘alaihisalam.
Allah Ta’ala berfirman :

وَأَنَّ ٱلْمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا۟ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.”(QS. Jin : 18)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan : “ Barangsiapa yang memalingkan ibadah-ibadah (diatas atau yang selainnya, termasuk do’a), maka dia disebut musyrik kafir”
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa menyembah tuhan yang lain di samping (selain) Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (QS. Surat Al-Mu’minun : 117)[7]


*PEMBAHASAN SYAFA’AT*
Definisi Syafa’at
Syafa’at berasal dari kata asy-syaf’u (ganda) yang merupakan lawan kata dari al-witru (tunggal), yaitu menjadikan sesuatu yang tunggal menjadi ganda. Ini pengertian secara bahasa. Sedangkan secara istilah, Syafa’at berarti menjadi perantara (syafi’) bagi orang lain (masyfu’ lahu) untuk didapatkannya manfaat atau tertolaknya madharat  atau memintakan manfa’at untuk orang lain (masyfu’ lahu).
Faedah dari definisi :
  1. Dari definisi dapat kita simpulkan bahwa makna istilah syafa’at sesuai dengan makna bahasa, karena permintaannya ada genap (dua), permintaan dari syafi’ dan masyfu’ lahu.
  2. Hakikat syafa’at itu adalah permintaan, jadi apa yang dilakukan kaum musyrikin berupa meminta syafa’at (tholabus Syafa’ah) kepada perantara (syafi’) agar ia memintakan kebutuhan mereka kepada Allah. Sedangkan perantara yang mereka mintai syafa’atnya, di antaranya adalah para Nabi, wali, atau orang-orang sholeh yang sudah meninggal dunia, berarti kaum musyrikin berdo’a kepada perantara.

Di sinilah nampak kesyirikan mereka dalam meminta syafa’at, ketika mereka berdo’a kepada selain Allah. Contoh meminta syafa’at yang dihukumi syirik adalah seseorang datang ke kuburan wali atau tempat kramat yang diyakini bahwa ruh wali Allah menitis di tempat itu, lalu berdo’a, menyeru mayit atau ruh wali Allah tersebut. Perbuatan tersebut dapat digambarkan dalam dialog berikut ini.
“Wahai Wali Allah, mintakan kepada Allah agar saya selamat dari Neraka!” atau “ Wahai Wali Allah, syafa’ati saya agar masuk Surga!” atau “Wahai Wali Allah, saya banyak berbuat dosa, engkau wali Allah yang dekat dengan-Nya, jika tidak engkau kasihani saya, ya Wali Allah, niscaya saya akan celaka dunia Akhirat, maka syafa’ati saya!” atau “Wahai Wali Allah, wahai sang penghilang duka, wahai sang pengangkat bala`,saya dalam kesempitan dan sedang tertimpa musibah, saya bersimpuh di hadapanmu, memohon belas-kasihmu, mohonlah kepada Allah agar mengangkat musibahku ini!” Ini semua adalah kalimat-kalimat syirik akbar!

Ditinjau dari ditetapkan atau tertolaknya, syafa’at terbagi dua macam:
  1. Syafa’at Mutsbatah /Maqbulah (ditetapkan keberadaannya/ diterima) dan
  2. Syafa’at manfiyyah/mardudah (ditiadakan/ditolak).

Pertama Syafa’at Mutsbatah /Maqbulah, yaitu:
Syafa’at yang didasarkan pada dalil yang Allah Ta’ala jelaskan dalam Kitab-Nya atau yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Sunnahnya, seperti firman Allah, surat Al-Baqarah: 255, berisikan tentang adanya syafa’at yang mutsbattah (ditetapkan keberadaannya).
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (QS. Al-Baqarah: 255).
Dan syafa’at tidaklah diberikan kecuali kepada orang-orang yang bertauhid.
Syafa’at Mutsbatah (ditetapkan) /Maqbulah (diterima) di Akhirat mempunyai tiga syarat:
Pertama, Allah meridhai orang yang mensyafa’ati (syafi’). Kedua, Allah meridhai orang yang diberi syafa’at (masyfu’ lahu). Ketiga, Allah mengizinkan pensyafa’at untuk mensyafa’ati. Syarat-syarat di atas dijelaskan Allah dalam firman-Nya,
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لاَتُغْنِى شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلاَّ مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللهُ لِمَن يَشَآءُ وَيَرْضَى
Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai (Nya)” (QS. An-Najm: 26)
Lalu firman Allah,
يَوْمَئِذٍ لاَتَنفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلاَّ مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلاً
Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhai perkataannya” (QS. Thaha: 109). Agar syafa’at seseorang diterima, maka harus memenuhi ketiga syarat di atas.

Kedua: Syafa’at manfiyyah/mardudah (tertolak).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi rahimahullah  mengatakan,
Syafa’at manfiyah (ditolak) adalah syafa’at yang diminta kepada selain Allah, dalam perkara yang tidak satupun yang mampu memberikannya kecuali Allah. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا بَيْعٌ فِيهِ وَلَا خُلَّةٌ وَلَا شَفَاعَةٌ وَالْكَافِرُونَ هُمْ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqarah: 254).

Semoga Allah selalu melindungi kita agar selalu terhindar dari segala bentuk kesyirikan, agar kita bisa selamat di dunia dan akhirat dengan hati yang bersih dari perbuatan syirik.



































[1] Tawasul dengan do’a orang sholeh yang masih hidup adalah dengan do’anya bukan dengan dzat atau kedudukannya. Hal ini yang difahami oleh Ahlussunnah wal Jama’ah. Adapun kaum pembela tawasul syirik mereka memahami bahwa tawasul dengan do’a orang sholeh adalah dengan dzat dan kedudukannya, Na’udzubillah.
[2] Lihat penejelasan mengenai tawasul secara detail di kitab At-Tawassul Ahkamuhu wa ‘Anwa’uhu oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.beliau membantah syubhat-syubhat para penyembah kuburan dengan lebel tawasul.
[3] Lihat kitab At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 115 oleh Syaikh Nashirudin Al-Albani Rahimahullah.

[4] Lihat kitab Majmu’ Fatawaa juz 11/ hal 293 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.

[5] Lihat kitab Ighatsatul Lahfaan hal 113-114 oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahullah.
[6] Lihat Syarh Tsalatsatul Al-Ushul hal 32-33 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin- diterjemahkan dengan tambahan contoh.
[7] Lihat Syarh Ma’mul ‘Ala Tsalatsati Al-Ushul atau lihat kitab Ar-Rokizah fii Syuruhaati Mutun Al-‘Aqidah hal 67 oleh Syakh Kholid Mahmud Al-Juhany.