HOME

Kamis, 12 Mei 2016

PERJALANANKU SAMPAI NEGERI MESIR #4




Oleh : Abu Yusuf  Akhmad Ja’far
                             (Mahasiswa Fakultas Syari’ah Islamiyah Univ. Al-Azhar, Kairo - Mesir)


Kembali ke Jakarta untuk Mengikuti Ujian Seleksi LIPIA


  Hari demi hari terlewati, penantian panjang selama 3 bulan sudah di depan mata. Sudah saatnya untuk meninggalkan kampung halaman lebih lama lagi, segala persiapan sudah semaksimal mungkin, tiket kereta sudah di booking, meskipun sudah naik harganya, akan semua itu tidaklah menyurtkan semangatku untuk memperdalam agama Islam.
  Kesedihan terlihat di raut wajah ibuku, maklumlah anak kesayangannya akan merantau ke Jakarta, jadi tidak bisa ketemu selama beberapa bulan ke depan. Saat ini keluargaku hanya terdiri dari dari : Ibu, kakakku (perempuan), aku dan adikku (laki-laki), sedangkan Bapakku sudah meninggalkan kami semua di saat saya masih kelas 7 SMP tepatnya pada tahun 2009 silam.
  Berat rasanya meninggalkan Ibuku, yang mana sehari-hari kami selalu bercengkrama ria, saling menghibur menata masa depan yang lebih baik. Apalah dayaku tatkala cita-cita yang mulia ini telah mengalahkan segala rasa itu.
  Rumahku akan bertambah sepi, 1 penghuninya akan merantau ke Jakarta, tinggal 2 orang saja di sana, yaitu Ibu dan adikku. Sedangkangkan kakakku sudah tinggal di rumah yang lain bersama suami dan anak-anaknya.
  Ibuku adalah pejuang bagiku, salah satu pembuka pintu surga yang masih tersisa, siang malam berfikir, bagaimana anaknya bisa bahagia, meskipun tanpa kehadiran sang bapak. Ibuku jarang tidur kecuali hanya sedikit saja, kegigihan dalam mencari nafkah sangat giat sekali, hanya tangisan dan do’a yang mampu saya berikan saat ini pada sosok yang tak tergantikan. Tidak kuat hati ini untuk bercerita lebih dalam tentang beliau.
  Keluargaku merupkan keluarga yang sederhana, Allah telah memberikan nikmat kepada keluargaku berupa kebahagiaan, meskipun bukan dengan banyaknya harta, akan tetapi dengan adanya saling pengertian antara kami semua.
  Pekerjaannya adalah berjualan, berupa sembako , sayur-mayur dan ikan segar ketika pagi hari. Ketika malam tiba beliau akan pergi ke pasar terdekat untuk membeli barang-barang yang akan di jual pagi hari, selama 5 tahun saya yang menemani ibuku untuk berkeliling pasar di malam hari, sedangkan saat saya merantau nanti maka adikku lah yang menjadi penggatiku.
  Selama 5 tahun saya berjuang untuk mencurahkan sedikit baktiku kepada Ibuku, segala perintahnya berusaha saya taati selama bukan untuk maksiat kepada Allah, saya berusaha untuk tidak menyaiti beliau, karena saya tahu bahwa balasan orang yang  durhaka kepada orang tua, salah satunya adalah hilangnya keberkahan dalam hidup. Mungkin Allah telah berkehendak lain untuk memisahkan saya dan Ibuku untuk beberapa waktu, dalam rangka menuntut ilmu di jalan Allah Ta;ala.
  Tanggal 19 Agustus 2014 adalah jadwalku untuk berangkat ke Jakarta, dari jauh-jauh hari telah saya booking. Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, bahwa  saya akan singgah di Bogor terlebih dahulu sebelum waktu test itu tiba, karena jarak antara keberangkatanku dengan waktu test sekitar 6 hari.
  Mas Doni lah yang menjadi perantara agar saya bisa singgah di Bogor, karena beliau sempat tinggal di sana selama beberapa waktu. Mencari tempat untuk singgah sangat sulit saat itu, karena musim libur hari raya. Terasa lega hati ini ketika rencan sudah tertata rapi.
  Seperti saat awal-awal saya ke Jakarta, perjalanan menggunakan kereta yang sama , pada jam yang sama dan sama teman yang sama juga seperti saat sangpengambilan formulir. Perjalanan yang sangat melelahkan, menggapai suatu yang besar. Tidak terasa waktu sudah larut malam, rasa kantuk sudah tidak bisa di tahan, tiba-tiba saya terkagetkan dengan status adek saya, tatkala membuka facebook di tengah perjalanan. Status itu berbunyi, “ Kini malikat subuhku telah pergi, siapakah yang akan membangunkanku untuk shalat subuh berjama’ah di masjid” ya mungkin maknanya seperti itulah. Tiba-tiba air di mataku mulia berjatuhan, menetes sedikit demi sedikit terharu membaca status adek saya.
  Dari situ saya memahami arti perpisahan, bahwa berpisah membuat kita bisa lebih dewasa dan sadar akan pengorbanan pada saat bersama. Saya selalu berusaha untuk mengajak adek saya untuk shalat berjama’ah di masjid dan berusaha untuk membangunkannya tatkala waktu shubuh tiba, memang rasanya berat untuk bangun di kala kenikmatan tidur itu berada pada puncaknya, godaan syaithan begitu kuat untuk melalaikan anak adam dari panggilan Allah. Kalau hanya saya saja yang shalat di masjid, lalu adek saya shalat di rumah, rasanya tidak enak. Begitulah mungkin cinta karena Allah, pengen sama-sama melakuakan kebaikan. Rasa tidak tega melihat dia tidur pulas itu ada, akan tetapi kalau tidak di biasakan dari usia dini, mau kapan lagi? Beban berat terpangku di pundakku, tatkala harus menggantikan sosok seorang bapak bagi keluargaku terutama bagi adekku, kesabaran dan keuletan menjadi senjata utamaku, menjadi teladan yang baik bagi adekku itulah hal yang sangat saya jaga. Rkesan Pantas saja kalau dia menulis status seperti itu, memang terkesan terlalu berlebihan, semoga itu bisa menjadi pembelajaran bagi dia, ketika bersama dan saat berpisah.
     Tatkala keheningan itu mendera, mengingat kebersamaan sama kelurga, tiba-tiba kereta api berhenti. Pertanda bahwa saya menginjakkan kaki yang kedua kali di tanah Ibukota ini. Berbeda dengan sebelumnya, kini saya dan temanku turun di Stasiun Pasar Senin, Jakarta Pusat. Kami beristirahat untuk melepaskan penat dan menunggu waktu pagi di Mushalla Stasiun, sesuai rencana bahwa perjaanan akan kami lanjutkan menuju Kota Bogor.
  Sebelum matahari terbit rangkaian kerata sudah beroprasi, saya datang ke lokasi penjualan tiket comuter line jurusan Bogor, hanya dengan beberapa ribu rupiah, kami bisa menikmati angkutan menuju Bogor. Berbagai stasiun terlewati, nampak di sana ada stasiun Univ. Indonesia , betapa besar Univ. Indonesia !! indah tampaknya, seperti hutan di tengah kota.
  Sesuai dengan alamat yang di berikan oleh Mas Doni, kami sudah sampai di stasiun Bojong Gede, setelah sampai di stasiun , kemudian kami mencari angkot jurussan bambu kuning, dan di lanjut naik angkot kembali yang lewat depan Kantor Pemda Bogor. Akhirnya sampai juga di Bogor, Kota yang sejuk seperti halnya Kota Batu di Malang.
  Hidup di Bogor sangat menyenangkan, biaya hidup sangat terjangkau. Disana saya menemui sosok Ustadz yang ilmunya sangat luar biasa, beliau adalah pemilik rumah dan masjid yang saya huni, beliau adalah Ustad Ishom Aini, Lc. Beliau memiliki pengetahuan sangat luas terutama dalam masalah hadist, karena selama di Univ. Ummul Qura beliau mengambil Fakultas Hadist.
     Setelah beberapa hari di Bogor, waktu ujian sudah sangat dekat. Dua hari sebelum ujian berlangsung, saya dan kawan saya pergi ke Jakarta. Masjid Al-Ikhlas adalah tempat tujuan kami, dimana disitulah tempat penginapan yang sering digunakan oleh para calon mahasiswa baru LIPIA. Setelah beberapa jam perjalanan sampailah kami di Jakarta.
  Kami bermalam di Masjid Al-Ikhlas, suasana sudah masjid sudah  mulai ramai di kala itu. Dari berbagai kota berkumpul di masjid itu, hanya sekedar untuk melepaskan lelah dan tempat berteduh. Semua orang menyimpan harapan untuk bisa di terima di LIPIA, begitupun dengan saya.
  Sehari sebelum Ujian, kami berpindah tempat ke markas besar FOSKI JAWA TIMUR, tempatnya tidak jauh dari masjid Al-Ikhlas, dan disanalah kami berjumpa dengan teman-teman daurah di Lamongan. Temu kangen dengan teman-teman yang baru saja tiba di Jakarta, berbagi pengalaman dan lain sebagainya. Tak lupa pula, berbagai arahan dari para pembimbing pun terluapkan kala itu, kami hanya bisa mendengar dengen cermat segala arahan-arahannya.
  Hari Selasa, 26 Agustus 2014. Itulah waktu ujian test tulis, pada hari itu waktunya berjuang, mengeluarkan segala tenaga dan fikiran yang ada.
  Saya bersama-sama kawan daurah pergi bareng menuju gedung LIPIA, terlihat suasana yang sangat menegangkan di raut wajah semua orang yang ada di situ. Satu-persatu mulai memasuki ruang ujian, saya sendiri sudah masuk ruang ujian, duduk di bangku paling depan.
  Beberapa menit kemudian, para penguji mulai memasuki ruangan. Berbagai macam bentuk penguji yang saya jumpai, maklumlah kampus ini milik Saudi Arabia, tentunya para dosennya banyak dari sana.
  Soal sudah dibagikan, saya mulai membaca satu persatu soal yang ada, dari banyaknya soal yang ada, sedikit saja yang saya fahami. Susah sekali soalnya, menurutku kala itu. Apalagi saat soal imla’ , kalang kabut saya dibuatnya. Karena saya tidak pengalaman dalam hal itu sama sekali, hanya berdo’a yang saya panjatkan kepada Allah, menunggu keajaibannya. Usailah ujian tulis hari itu.
  Saya tidak yakin dengan jawaban itu, apakah saya bisa di terima di LIPIA? Berbagai pertanyaan itu terlintas di benakku, ketakutan itu menghantui di bayang-bayangku.  
  Selang sehari ujian lisan akan segera di mulai, pertanyaan apa yang akan di tanyakan kepadaku nanti, sedangkan saya tidak bisa berbicara Bahasa Arab dengan baik kala itu, kosa-kata yang saya miliki sangatlah minim. Tepat pada hari Kamis ujian akan dilaksanakan, saya termenung menunggu giliran. Tidak berselang lama, namaku terdengar disana, itu pertanda bahwa saya harus duduk di hadapan penguji, kebetulan sang pungi adalah dosen asal Indonesia, jadi agak sedikit tenang menghadapinya, minimal ngomongnya tidak terlalu cepat. Meskipun terbata-bata saya bisa menjawab pertanyaan yang di lontarkan sang penguji dengan baik. Mungkin hanya 5 menit percakapan antara saya dan penguji, kemudian beliau memberi tanda yang berarti ujian lisan saya telah usai.
  Terasa lega hinggap di benakku, meskipun gelisah masih terbayang di bayang-bayangku. Saat itu,  yang saya nanti hanyalah pengumuman. Belum jelas kapan akan diumumkan hasil test itu, sehingga hampir setiap hari saya bolak-balik menuju gedung LIPIA, hanya sekedar mencari informasi.
  3 hari berlalu saya menunggu pengumuman,berbagai kabar simpang siur yang ku dengar. Tepat pada hari Ahad, 31 Agustus 2014 ada tablig akbar bersama Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad Hafizahullah Ta’ala, di masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Dengan penerjemah Ust. Firanda Andirja, MA. Setidaknya dengan menghadiri majlis ilmu hati menjadi tenang, membuat suasana lebih tentram di hati.
  Tepat sehari setelah tablig akbar, pengumuman itu sudah keluar. Bergegas saya menuju gedung LIPIA, untuk melihat pengumuman itu. Desak-desakan situsi saat itu, kucari nama di lembaran itu, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas terus ku amati, tidak ku dapati namaku di sana, bergetar hatiku saat itu, ingin rasanya menangis. Akan tetapi inilah mungkin yang terbaik buatku, sedikit ada hiburan saat itu, bahwa teman saya di terima di LIPIA. Mungkin itu yang bisa membuatku kuat dan tetap semangat untuk melanjutkan perjuanganku ini, meskipun bukan di LIPIA.
  Siang  itu, saya berpisah dengan teman saya. Dia ingin pulang ke Pasuruan, karena dia mendapat jatah untuk kuliah pada bulan Januari, sedangkan saya langsung pergi ke Bogor untuk menenangkan diri dan sejenak melupakan kejadian mengaharukan itu.
  Kemanakah saya belajar bahasa Arab setelah itu ?
Bersambung.......
 

0 komentar:

Posting Komentar