Oleh : Abu Yusuf Akhmad Ja’far
(Mahasiswa
Fakultas Syari’ah Islamiyah Univ. Al-Azhar, Kairo - Mesir)
Persiapan Ujian Test Masuk LIPIA
Setelah seminggu berada
di Ibukota dengan sejuta kenangan yang ada, seperti yang saya ceritakan di
edisi sebelumnya. Dan kini yang harus saya fikirkan adalah bagaimana bisa lulus
dalam seleksi ujian masuk LIPIA. Asalkan kalian semua tahu bahwa materi yang
akan di ujikan di LIPIA, semuanya dengan menggunakan Bahasa Arab. Mengisi
formulir aja dengan bahasa arab kok. Tapi ya sudahlah ! yang terpenting saat
ini saya harus bisa menguasai materi-materi test itu, ujarku.
Jujur saja, kemampuan
berbahasa Arab saya masih sangat lemah kala itu, banyak kosa-kata yang
belum saya ketahui, maklumlah di SMK
tidak ada pelajaran bahasa arab. Saya
masih belum bisa berbicara dengan bahasa arab, lalu bagaimana saya menjawab soal-soal
yang akan diajukan kepada saya ? ujarku dalam hati.
Hanya berbekal belajar di
pondok yang hanya beberapa waktu, itupun tidak itensif. Saya tetap bertekat
ingin menguasai Bahasa Arab, ingin menguasai bahasa Al-Qur’an dan Hadist,
pandai ngomong dengan Bahasa Arab dll. Oleh karenanya saya tetap bertekat untuk
belajar lebih dalam tentang Bahasa Arab.
Rasa iri tatkala mendengar Ust. Husni berbicara dengan Bahasa Arab sama temannya tatkala di kos , membuatku terobsesi untuk giat dalam belajar. Saya tidak tahu artinya apa yang beliau ucapkan sama temannya, saya hanya bisa mengangguk dan tersenyum, pura-pura tahu, padahal tidak tahu apa-apa.
Sebelum saya pulang ke
Pasuruan, saya dibekali kitab oleh seorang teman yang sedang belajar di LIPIA,
kitab itu berbahsa arab, ada gambar-gambarnya gitu, dan saya bingung tidak bisa
membacanya dan mengartikannya. Bagiku kosa-kata di dalamnya sangatlah asing di
telingaku. Lagi-lagi harap maklum , bukan anak pondok asli.
Meskipun saya tidak bisa
membaca kitab itu, entah apa nama kitab itu. Saya tidak tahu. Saya sempat
bingung, bagaimana belajarnya ya? Aduh kok ribet amat sih !! ujarku menyesal.
Kenapa saya tidak belajar bahasa dari dulu, kan kalau belajar dari dulu bisa
baca kitab itu. Entahlah, mungkin sekarang saatnya saya harus belajar serius.
Sebelum saya
mengorek-orek informasi tentang LIPIA, saya juga sempat mendownload
contoh-contoh soal tahun-tahun sebelumnya. Jujur saja, yang bisa saya kerjakan
hanya satu , dua soal tentang qowaid nahwiyah, karena saya pernah belajar
sebelumnya. Dan untuk soal-soalnya yang lain saya tidak tahu, karena saya tidak
tahu artinya. Terkadang saya merasa sedih tatkala ingat hal itu.
Pada saat atrian
pengambilan formulir, ada selebaran yang dibagi-bagi, entah selebaran apa, saya
juga tidak faham. Eh, ternyata ada tulisan Try Out Ujian Masuk LIPIA. Ya sudah
, brosur itu saya simpan. Dan setelah saya pulang, saya berunding sama teman
saya, mau apa tidak ikut try out itu. Alhasil teman saya itu mau, siapa tahu
ada tips-tips agar bisa lulus dalam ujian nanti. Kebetulan try out itu
dilakukan di Jawa Timur, tepatnya di Pondok Pesantren Manarul Qur’an, Paciran,
Kota Lamongan. Ternyata yang mengadakan acara itu adalah mahasiswa asal Jawa
Timur yang belajar LIPIA, dan nama forumnya adalah FOSKI (Forum Silaturahmi dan
Kajian Islam).
Jarak antara kotaku dan
kota Lamongan lumayan jauh, kurang lebih 5-6 jam perjalanan, dengan menggunakan
bus antar kota. Kulangkahkan niatku untuk bisa mengetahui seluk beluk soal test
yang akan di ujikan di Jakarta 3 bulan yang akan datang.
Dari terminal Pasuruan
menuju terminal Bungur Asih, Surabaya dan dilanjut ke terminal Osowilangun
Gresik, lalu naik angkut menuju lokasi try out. Begitulah rangkaian perjalanan
menuju lokasi yang tertera di brosur itu. Setelah 6 jam perjalanan , tibalah
saya di Pondok Manarul Qur’an, pondok yang terletak di tepi Pantai Utara Jawa
ini tampak kumuh tak berpenghuni, mengingat 10 hari kedepan saya akan
menjalankan hari-hari ku mengikuti kegiatan yang sudah dirangkai sedemikian rupa
oleh panitia. Apakah saya akan betah 10 hari disini ? ujarku dalam hati.
Tiba-tiba ada suara yang seolah-olah berbisik meniup telingaku, Jalani saja
kegiatan ini, toh kamu tidak akan lama tinggal disini, hanya 10 hari saja.
Memang waktu yang ditentukan oleh panitia selama 10 hari.
Awal masuk ke kawasan
pondok, saya di sambut oleh seorang yang sedang memegang Al-Qur’an di
tengannya, dengan sangat ramah khas jawa tengah. Dia menyapa saya. Dauroh ini
tidak hanya di ikuti oleh orang-orang Jawa Timur saja, melainkan dari berbagai
provinsi boleh ikut. Setelah kenalan dan segala macam, saya langsung masuk
masuk ke kamar panitia untuk melakukan registrasi untuk keperluan selama daurah
ini tentunya. Dengan biaya yang sangat terjangkau saya mampu untuk membayarnya.
Sekitar 29 orang
berkumpul dalam daurah itu, dari berbagai macam daerah, dan juga dari berbagai
macam pondok pesantren. Ta’arufan antara satu dengan yang lainnya menjadi tema
hangat sore itu, yang sedikit gerimis dan masing dalam naungan mendung.
Waktu berjalan terus
tanpa ada hentinya, materi demi materi di berikan oleh kakak-kakak pembimbing,
wawasan baru banyak saya dapati disitu. Jujur saja, saya di antara peserta
daurah yang terbelakang dalam masalah Bahasa Arab dengan keluguan dan kepolosan
saya.
Melihat kawan-kawan yang
sangat aktif dalam berbahasa Arab, menyurutkan nyaliku untuk mengikuti test di
Jakarta 3 bulan mendatang . Bagaimana saya bisa bersaing, terkadang saat itu
saya merasa sadar bahwa perjalananku sangat singkat kalau ingin mempelajari
Bahasa Arab secara keseluruhan dalam waktu 10 hari. Karena belajar Bahasa Arab
butuh kesabaran dan ketekunan.
Berkali-kali ujian yang
saya lalui dalam daurah itu, saya mendapatkan nilai yang sangat buruk dan
buruk. Memang segitu kemampuanku, ujarku dalam keheningan.
Rupa-rupanya, dengan
hasil nilai try out saya , sudah tergambar hasil test saya nanti. Entahlah,
apapun hasilnya nanti saya akan terima dengan lapang dada dan saya akan tetap
berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Ditengah kesibukan
daurah, saya dan kawan-kawan lainnya melakukan aktivitas di luar pondok,
berjalan-jalan menelusuri pinggiran pantai menuju lokasi wisata WBL. Salah satu
lokasi wisata yang sangat terkenal di Lamongan. Meskipun hanya olah raga di
depan pintu masuk WBL, sudah membuat erat tali persaudaraan kami. Memang niat
kami tidak masuk ke wahana yang ada di dalamnya, melainkan hanya berolahraga
pagi dengan menimati hawa pantai.
Penutupan daurah akan
segera di dilaksanakan, ada hal yang yang membuat saya kaget yaitu untuk setiap
peserta harus menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab. Ketika itu saya bingung,
ngomong aja belum bisa, apalagi khutbah !!! ujarku dalam hati.
Mau tidak mau, saya harus
tetap maju. Saya memang dikenal sebagai orang yang humoris dan mudah bergaul,
jadi bagi saya untuk akrab sama seseorang itu hanya butuh waktu singkat. Jadi
giliran saya yang paling ditunggu sama kawan-kawan disitu, saya “PD” saja
meskipun itu banyak salahnya, karena hal ini merupakan awal dari langkahku
menuju kesuksesan.
Daurah telah berakhir,
penghargaan bagi peraih nilai tertinggi diberikan kepada yang berhak meraihnya.
Saatnya berpisah dengan kawan-kawan seperjuangan selama 10 hari, dan akan
berjumpa 3 bulan kedepan di Jakarta.
Sebelum saya pulang ke
Pasuruan, saya sempatkan mampir ke rumah temanku yang mondok di Pasuruan.
Kebetulan saja, rumahnya tidak terlalu jauh dengan lokasi pondok. Fajar nama
temenku itu, Dia mempunyai kemauan yang tinggi untuk belajar islam, akan tetapi
dia mempunyai tanggungan keluarga yang harus di nafkahi, karena keinginnanya
yang kuat untuk belajar Islam, Allah beri dia kemudahan rezeki dan waktu luang.
Sehari semalam saya menginap di tempat dia, kesederahaan kelurganya membuatku
sangat kagum dengannya. Semoga Allah selalu menajaga dia dan keluargnya.
Tibalah saat untuk
pulang, menyambut bulan Ramadhan yang indah bagai rembulan di langit biru.
Berbagai aktivitas saya lakukan
di bulan Ramadhan, di antaranya belajar nahwu kepada salah seorang ustad di
Pondok As-Sunnah setelah sholat subhuh. Hanya beberapa pertemuan, saya tidak
mampu lagi untuk istiqomah setiap hari bolak-balik , antara rumah dan pondok.
Karena memang membutuhkan tenaga yang cukup dan iman yang bermental baja.
Ramadhan telah berlalu,
itu menandakan bahwa Ujian Test Masuk LIPIA semakin dekat, berbagai persiapan
telah aku siapkan, seperti tiket kereta, bekal makanan, baju-baju dan
lain-lainnya.
Saya sudah bertekat untuk
tidak pulang ke Pasuruan lagi selama beberapa waktu, mekipun saya tidak di
terima di LIPIA. Oleh karenanya saya harus mempunyai opsi lain sebagai tempat
labuhku dalam menekuni Bahasa Arab.
Berbagai informasi saya
gali, baik dari media maya ataupun dari mulut ke mulut. Muncul lah salah
seorang alumni pondok As-Sunnah yang memberikan ku masukan dan opsi lain,
apabila saya tidak di terima di LIPIA. Beliau adalah Mas Doni, seorang yang
sedderhana, lembut dan berprinsip. Dia memberikanku arahan, karena dia cukup
berpengalaman dalam bidang ini. Diantara opsi lain selain LIPIA adalah LSIA, ya
LSIA. Mas Doni merupakan alumni LSIA, meskipun belum sempat menyelesaikan
studinya sampai 1 tahun.
Dia sangat kenal denga
mudir LSIA, dan dia memberikanku nomor mudir tersebut. Saat nomor mudir LSIA
sudah ku dapat, saya beranikan diri untuk menghubungi beliau, agar nasib saya
jelas tatkala di perantauan nanti. Sistem belajar di LSIA mengadopsi dari
LIPIA, mulai dari muqorrar dan pengantar belajarnya menggunakan Bahasa Arab.
Semakin mantab dalam hatiku. Setidaknya sudah tergambar , andaikata saya tidak
di terima di LIPIA, maka saya akan belajar di LSIA.
LSIA waktu itu terletak
di daerah Pondok Gede di Bekasi, jadi tidak terlalu jauh dari Jakarta. Info
yang saya dapat bahwa waktu belajar di LSIA hanya satu tahun, setingkat D1.
Oleh karenaya ku serahkan semua kepada Allah, apapun hasilnya aku tidak akan
dulu.
Ke Jakarta untuk yang
kedua kalinya, untuk mengikuti ujian test LIPIA, menelurusi lebih dalam lagi Ibukota
Negara ini.
Bagaimana hasil test saya
nanti?
Apakah saya di terima di
LIPIA ?
Bersambung..............
0 komentar:
Posting Komentar