Oleh : Abu Yusuf Akhmad Ja’far
(Mahasiswa
Fakultas Syari’ah Islamiyah Univ. Al-Azhar, Kairo - Mesir)
Kembali ke Jakarta untuk Mengikuti
Ujian Seleksi LIPIA
Hari demi hari terlewati,
penantian panjang selama 3 bulan sudah di depan mata. Sudah saatnya untuk
meninggalkan kampung halaman lebih lama lagi, segala persiapan sudah semaksimal
mungkin, tiket kereta sudah di booking, meskipun sudah naik harganya, akan
semua itu tidaklah menyurtkan semangatku untuk memperdalam agama Islam.
Kesedihan terlihat di raut
wajah ibuku, maklumlah anak kesayangannya akan merantau ke Jakarta, jadi tidak
bisa ketemu selama beberapa bulan ke depan. Saat ini keluargaku hanya terdiri
dari dari : Ibu, kakakku (perempuan), aku dan adikku (laki-laki), sedangkan
Bapakku sudah meninggalkan kami semua di saat saya masih kelas 7 SMP tepatnya
pada tahun 2009 silam.
Berat rasanya meninggalkan
Ibuku, yang mana sehari-hari kami selalu bercengkrama ria, saling menghibur
menata masa depan yang lebih baik. Apalah dayaku tatkala cita-cita yang mulia
ini telah mengalahkan segala rasa itu.
Rumahku akan bertambah sepi,
1 penghuninya akan merantau ke Jakarta, tinggal 2 orang saja di sana, yaitu Ibu
dan adikku. Sedangkangkan kakakku sudah tinggal di rumah yang lain bersama
suami dan anak-anaknya.
Ibuku adalah pejuang bagiku,
salah satu pembuka pintu surga yang masih tersisa, siang malam berfikir,
bagaimana anaknya bisa bahagia, meskipun tanpa kehadiran sang bapak. Ibuku
jarang tidur kecuali hanya sedikit saja, kegigihan dalam mencari nafkah sangat
giat sekali, hanya tangisan dan do’a yang mampu saya berikan saat ini pada
sosok yang tak tergantikan. Tidak kuat hati ini untuk bercerita lebih dalam
tentang beliau.
Keluargaku merupkan keluarga
yang sederhana, Allah telah memberikan nikmat kepada keluargaku berupa
kebahagiaan, meskipun bukan dengan banyaknya harta, akan tetapi dengan adanya
saling pengertian antara kami semua.
Pekerjaannya adalah
berjualan, berupa sembako , sayur-mayur dan ikan segar ketika pagi hari. Ketika
malam tiba beliau akan pergi ke pasar terdekat untuk membeli barang-barang yang
akan di jual pagi hari, selama 5 tahun saya yang menemani ibuku untuk
berkeliling pasar di malam hari, sedangkan saat saya merantau nanti maka adikku
lah yang menjadi penggatiku.
Selama 5 tahun saya berjuang
untuk mencurahkan sedikit baktiku kepada Ibuku, segala perintahnya berusaha
saya taati selama bukan untuk maksiat kepada Allah, saya berusaha untuk tidak
menyaiti beliau, karena saya tahu bahwa balasan orang yang durhaka kepada orang tua, salah satunya
adalah hilangnya keberkahan dalam hidup. Mungkin Allah telah berkehendak lain
untuk memisahkan saya dan Ibuku untuk beberapa waktu, dalam rangka menuntut
ilmu di jalan Allah Ta;ala.
Tanggal 19 Agustus 2014
adalah jadwalku untuk berangkat ke Jakarta, dari jauh-jauh hari telah saya
booking. Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, bahwa saya akan singgah di Bogor terlebih dahulu
sebelum waktu test itu tiba, karena jarak antara keberangkatanku dengan waktu
test sekitar 6 hari.
Mas Doni lah yang menjadi
perantara agar saya bisa singgah di Bogor, karena beliau sempat tinggal di sana
selama beberapa waktu. Mencari tempat untuk singgah sangat sulit saat itu,
karena musim libur hari raya. Terasa lega hati ini ketika rencan sudah tertata
rapi.
Seperti saat awal-awal saya
ke Jakarta, perjalanan menggunakan kereta yang sama , pada jam yang sama dan
sama teman yang sama juga seperti saat sangpengambilan formulir. Perjalanan
yang sangat melelahkan, menggapai suatu yang besar. Tidak terasa waktu sudah
larut malam, rasa kantuk sudah tidak bisa di tahan, tiba-tiba saya terkagetkan
dengan status adek saya, tatkala membuka facebook di tengah perjalanan. Status
itu berbunyi, “ Kini malikat subuhku telah pergi, siapakah yang akan membangunkanku
untuk shalat subuh berjama’ah di masjid” ya mungkin maknanya seperti itulah.
Tiba-tiba air di mataku mulia berjatuhan, menetes sedikit demi sedikit terharu
membaca status adek saya.
Dari situ saya memahami arti
perpisahan, bahwa berpisah membuat kita bisa lebih dewasa dan sadar akan
pengorbanan pada saat bersama. Saya selalu berusaha untuk mengajak adek saya
untuk shalat berjama’ah di masjid dan berusaha untuk membangunkannya tatkala
waktu shubuh tiba, memang rasanya berat untuk bangun di kala kenikmatan tidur
itu berada pada puncaknya, godaan syaithan begitu kuat untuk melalaikan anak
adam dari panggilan Allah. Kalau hanya saya saja yang shalat di masjid, lalu
adek saya shalat di rumah, rasanya tidak enak. Begitulah mungkin cinta karena
Allah, pengen sama-sama melakuakan kebaikan. Rasa tidak tega melihat dia tidur
pulas itu ada, akan tetapi kalau tidak di biasakan dari usia dini, mau kapan
lagi? Beban berat terpangku di pundakku, tatkala harus menggantikan sosok
seorang bapak bagi keluargaku terutama bagi adekku, kesabaran dan keuletan
menjadi senjata utamaku, menjadi teladan yang baik bagi adekku itulah hal yang
sangat saya jaga. Rkesan Pantas saja kalau dia menulis status seperti itu,
memang terkesan terlalu berlebihan, semoga itu bisa menjadi pembelajaran bagi
dia, ketika bersama dan saat berpisah.
Tatkala keheningan itu
mendera, mengingat kebersamaan sama kelurga, tiba-tiba kereta api berhenti.
Pertanda bahwa saya menginjakkan kaki yang kedua kali di tanah Ibukota ini.
Berbeda dengan sebelumnya, kini saya dan temanku turun di Stasiun Pasar Senin,
Jakarta Pusat. Kami beristirahat untuk melepaskan penat dan menunggu waktu pagi
di Mushalla Stasiun, sesuai rencana bahwa perjaanan akan kami lanjutkan menuju
Kota Bogor.
Sebelum matahari terbit
rangkaian kerata sudah beroprasi, saya datang ke lokasi penjualan tiket comuter
line jurusan Bogor, hanya dengan beberapa ribu rupiah, kami bisa menikmati
angkutan menuju Bogor. Berbagai stasiun terlewati, nampak di sana ada stasiun
Univ. Indonesia , betapa besar Univ. Indonesia !! indah tampaknya, seperti
hutan di tengah kota.
Sesuai dengan alamat yang di
berikan oleh Mas Doni, kami sudah sampai di stasiun Bojong Gede, setelah sampai
di stasiun , kemudian kami mencari angkot jurussan bambu kuning, dan di lanjut
naik angkot kembali yang lewat depan Kantor Pemda Bogor. Akhirnya sampai juga
di Bogor, Kota yang sejuk seperti halnya Kota Batu di Malang.
Hidup di Bogor sangat
menyenangkan, biaya hidup sangat terjangkau. Disana saya menemui sosok Ustadz
yang ilmunya sangat luar biasa, beliau adalah pemilik rumah dan masjid yang
saya huni, beliau adalah Ustad Ishom Aini, Lc. Beliau memiliki pengetahuan
sangat luas terutama dalam masalah hadist, karena selama di Univ. Ummul Qura
beliau mengambil Fakultas Hadist.
Setelah beberapa hari di
Bogor, waktu ujian sudah sangat dekat. Dua hari sebelum ujian berlangsung, saya
dan kawan saya pergi ke Jakarta. Masjid Al-Ikhlas adalah tempat tujuan kami,
dimana disitulah tempat penginapan yang sering digunakan oleh para calon
mahasiswa baru LIPIA. Setelah beberapa jam perjalanan sampailah kami di
Jakarta.
Kami bermalam di Masjid
Al-Ikhlas, suasana sudah masjid sudah mulai
ramai di kala itu. Dari berbagai kota berkumpul di masjid itu, hanya sekedar
untuk melepaskan lelah dan tempat berteduh. Semua orang menyimpan harapan untuk
bisa di terima di LIPIA, begitupun dengan saya.
Sehari sebelum Ujian, kami
berpindah tempat ke markas besar FOSKI JAWA TIMUR, tempatnya tidak jauh dari
masjid Al-Ikhlas, dan disanalah kami berjumpa dengan teman-teman daurah di
Lamongan. Temu kangen dengan teman-teman yang baru saja tiba di Jakarta, berbagi
pengalaman dan lain sebagainya. Tak lupa pula, berbagai arahan dari para
pembimbing pun terluapkan kala itu, kami hanya bisa mendengar dengen cermat
segala arahan-arahannya.
Hari Selasa, 26 Agustus
2014. Itulah waktu ujian test tulis, pada hari itu waktunya berjuang,
mengeluarkan segala tenaga dan fikiran yang ada.
Saya bersama-sama kawan
daurah pergi bareng menuju gedung LIPIA, terlihat suasana yang sangat
menegangkan di raut wajah semua orang yang ada di situ. Satu-persatu mulai
memasuki ruang ujian, saya sendiri sudah masuk ruang ujian, duduk di bangku
paling depan.
Beberapa menit kemudian,
para penguji mulai memasuki ruangan. Berbagai macam bentuk penguji yang saya
jumpai, maklumlah kampus ini milik Saudi Arabia, tentunya para dosennya banyak
dari sana.
Soal sudah dibagikan, saya
mulai membaca satu persatu soal yang ada, dari banyaknya soal yang ada, sedikit
saja yang saya fahami. Susah sekali soalnya, menurutku kala itu. Apalagi saat
soal imla’ , kalang kabut saya dibuatnya. Karena saya tidak pengalaman dalam
hal itu sama sekali, hanya berdo’a yang saya panjatkan kepada Allah, menunggu
keajaibannya. Usailah ujian tulis hari itu.
Saya tidak yakin dengan
jawaban itu, apakah saya bisa di terima di LIPIA? Berbagai pertanyaan itu
terlintas di benakku, ketakutan itu menghantui di bayang-bayangku.
Selang sehari ujian lisan
akan segera di mulai, pertanyaan apa yang akan di tanyakan kepadaku nanti,
sedangkan saya tidak bisa berbicara Bahasa Arab dengan baik kala itu, kosa-kata
yang saya miliki sangatlah minim. Tepat pada hari Kamis ujian akan
dilaksanakan, saya termenung menunggu giliran. Tidak berselang lama, namaku
terdengar disana, itu pertanda bahwa saya harus duduk di hadapan penguji,
kebetulan sang pungi adalah dosen asal Indonesia, jadi agak sedikit tenang
menghadapinya, minimal ngomongnya tidak terlalu cepat. Meskipun terbata-bata
saya bisa menjawab pertanyaan yang di lontarkan sang penguji dengan baik.
Mungkin hanya 5 menit percakapan antara saya dan penguji, kemudian beliau
memberi tanda yang berarti ujian lisan saya telah usai.
Terasa lega hinggap di
benakku, meskipun gelisah masih terbayang di bayang-bayangku. Saat itu, yang saya nanti hanyalah pengumuman. Belum
jelas kapan akan diumumkan hasil test itu, sehingga hampir setiap hari saya bolak-balik
menuju gedung LIPIA, hanya sekedar mencari informasi.
3 hari berlalu saya menunggu
pengumuman,berbagai kabar simpang siur yang ku dengar. Tepat pada hari Ahad, 31
Agustus 2014 ada tablig akbar bersama Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad
Hafizahullah Ta’ala, di masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Dengan penerjemah Ust.
Firanda Andirja, MA. Setidaknya dengan menghadiri majlis ilmu hati menjadi
tenang, membuat suasana lebih tentram di hati.
Tepat sehari setelah tablig
akbar, pengumuman itu sudah keluar. Bergegas saya menuju gedung LIPIA, untuk
melihat pengumuman itu. Desak-desakan situsi saat itu, kucari nama di lembaran
itu, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas terus ku amati, tidak ku dapati
namaku di sana, bergetar hatiku saat itu, ingin rasanya menangis. Akan tetapi
inilah mungkin yang terbaik buatku, sedikit ada hiburan saat itu, bahwa teman
saya di terima di LIPIA. Mungkin itu yang bisa membuatku kuat dan tetap
semangat untuk melanjutkan perjuanganku ini, meskipun bukan di LIPIA.
Siang itu, saya berpisah dengan teman saya. Dia
ingin pulang ke Pasuruan, karena dia mendapat jatah untuk kuliah pada bulan
Januari, sedangkan saya langsung pergi ke Bogor untuk menenangkan diri dan
sejenak melupakan kejadian mengaharukan itu.
Kemanakah saya belajar
bahasa Arab setelah itu ?
Bersambung.......
0 komentar:
Posting Komentar